Senin, 06 September 2010

DIPLOMAT ULUNG

BANYAK buku sejarah ataupun artikel tentang para tokoh negeri ini yang membikin bangga. Bangga sebagai bangsa yang duduk sama rendah berdiri sama tinggi dengan negara lain.

Simak kiprah salah satu bapak bangsa di dunia diplomatik, Haji Agus Salim. Di zamannya, pria yang selalu tampil khas dengan peci, janggut, dan pecandu rokok kretek ini sangat besar kontribusinya dalam menjaga harga diri bangsanya.

Prof George Kahin, yang dijuluki bapak studi Indonesia, salah seorang pakar yang mengaguminya. Ketika Salim menjadi pembicara tamu di Cornel University, Kahin terperangah atas penampilanya saat berdebat dengan Ngo Dinh Diem, diplomat Vietnam yang juga pandai berpidato dan berdebat.
Ngo Dinh Diem saat itu sedang mengumpulkan dukungan bagi Vietnam Selatan. Kahin geleng-geleng kepala tanda kagum karena kedua tokoh itu ternyata sudah asyik berdebat dalam bahasa Prancis. Ternyata Agus Salim dapat membuat Ngo Dinh Diem menjadi pendengar saja.

Kisah lain tentang kepiawaian Agus Salim dalam berdiplomasi saat ia mewakili Presiden Soekarno menghadiri upacara penobatan Ratu Inggris Elizabeth tahun 1953. Ia kesal dengan suami ratu, yaitu Pangeran Philip, yang kurang perhatian terhadap para tamu dari negeri-negeri jauh.

Agus Salim lantas menghampiri dan mengayun-ayunkan rokok kreteknya di sekitar hidung sang pangeran. Lalu ia berujar, "Apakah Paduka mengenali aroma rokok ini?" Dengan ragu-ragu menghirup rokok itu, sang pangeran mengakui tidak mengenal aroma tersebut.

Salim dengan tersenyum berujar, "Itulah sebabnya 300 atau 400 tahun yang lalu bangsa Paduka mengarungi lautan mendatangi negeri saya." Suasana akhirnya menjadi cair, sang pangeran mulai ramah meladeni tamunya.

"Jarang ada yang mau menghadapi Agus Salim dalam berdebat. Beliau ahli berkelit, bernegosiasi, dan lidahnya amat tajam kala mengecam," ujar Mohamad Roem.
Mohamad Roem sendiri dikenal sebagai diplomat ulung. Jasanya di dunia diplomasi di antaranya perjanjian Roem-Roijen (1949). Perjanjian antara RI dan Belanda ini, salah satu hasilnya bahwa angkatan bersenjata Belanda bersedia menghentikan semua aktivitasnya dan membebaskan semua tawanan perang.

Contoh gamblang lainnya adalah Bung Karno (BK). Dalam satu versi cerita, terselenggaranya Konferensi Asia Afrika berkat kepiawaian BK berdiplomasi.
Diceritakan, saat rapat pimpinan antarnegara dalam rangka membentuk aliansi dunia ketiga, terjadi proses pengambilan keputusan yang bertele-tele. BK lalu mengambil inisiatif mendekati Nehru dan membisikkan sesuatu lalu ditanggap anggukan oleh Nehru. Kemudian BK beranjak ke posisi Gamal Abdulnasser, membisikkan sesuatu dan ditanggapi dengan anggukan pula oleh si pemimpin negeri Mesir ini.


Tak lama setelah kedua aksi bisik tersebut, BK meminta giliran untuk menyampaikan pendapat dan mengusulkan diselenggarakannya Konferensi Asia Afrika di Bandung. Usulan itu langsung ditanggapi setuju oleh para hadirin.

Konon, menurut pengakuan BK, sesungguhnya ia tidak membisikkan sesuatu pesan politik apa pun ke telinga kedua pemimpin berpengaruh tersebut. BK hanya mengajak makan siang bareng sehabis pertemuan yang melelahkan itu.

Zaman setelah Bung Karno, negeri ini sebenarnya tidak paceklik diplomat ulung. Adam Malik tercatat pernah memimpin sebuah sidang di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Ia dikenal sebagai diplomat yang pandai memikat hati rakyat.

Setelah era Adam Malik, lahir Ali Alatas. Mantan Menteri Luar Negeri RI ini dikenal cukup berperan aktif dalam perdamaian di Kamboja. Setelah Ali Alatas, muncul Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). JK dikenal piawai dalam menyelesaikan persoalan-persoalan berujung konflik, seperti pengalamannya saat meredam konflik Poso, Ambon, dan Aceh.

Sayang, JK mengaku tidak tertarik untuk ikut terlibat langsung dalam perundingan dan diplomasi dengan Malaysia hari ini, 6 September 2010. "Nggak, ah," kata JK seusai apel siaga lebaran PMI 2010 di lapangan Monas, Jakarta, Minggu (5/9). (*)

Kamis, 26 Agustus 2010

Nasionalisme Bukan Barang Jadi

SEBERAPA kuat, sih, militer Indonesia jika dibanding negara-negara lainnya di dunia? Jawaban dari pertanyaan tersebut ternyata sangat mengejutkan. Paling tidak jika kita merujuknya pada pemeringkatan yang dilakukan situs www.globalfirepower.com, sebuah situs pribadi yang kini banyak sekali diakses karena secara rutin menganalisa kekuatan militer setiap negara di dunia.
Pada world military strength ranking terakhir berdasar data yang di-update situs tersebut, Mei 2009, Indonesia berada pada posisi 14, di bawah Italia (peringkat 13), Korea Selatan (peringkat 12) dan Israel (peringkat 11).

Australia yang kabarnya kuat di kawasan Asia Pasifik hanya menempati peringkat 26 versi Global Fire Power. Sementara Malaysia, yang dalam beberapa waktu terakhir selalu bersikap congkak, malah tak masuk hitungan, namanya tak tercantum.

Peringkat Indonesia sendiri sebenarnya sedikit melemah jika dibanding pemeringkatan sebelumnya, tahun 2007. Saat itu RI berada pada posisi ke-13 di bawah United Kindom (peringkat 10), di bawah Italia (peringkat 11), di bawah dan Korea Selatan (peringkat 12). Namun, seperti pada pemeringkatan terbaru, Australia tak masuk dalam 20 besar, apalagi Malaysia, sama sekali tak disebut-sebut.

Tak hanya itu, Komando Pasukan Khusus (Kopassus) milik Indonesia yang sudah berdiri sejak April 1952 silam, ternyata juga berada pada peringkat tiga pasukan elit terbaik dunia di bawah England Special Air Service (SAS) dan Mossad Israeli yang berada pada posisi pertama dan kedua. Pasukan khusus Rusia dan Prancis yang terkenal juga bahkan tak bisa menandingi Kopassus). Pasukan khusus Malaysia? Lagi-lagi tak disebut-sebut.

Itu sebabnya, barangkali, bahwa akademi militer di Indonesia kemudian menjadi salah satu tujuan favorit pendidikan militer dunia yang sering dituju oleh para perwira dari negara lain untuk mengikuti pelatihan kemiliteran.

Hampir 80 persen negara-negara di Afrika juga menggunakan jasa pasukan khusus dari Indonesia untuk melatih pasukan perang mereka di Afrika. Sementara buku yang berjudul "Strategy of Guerrilla Warfare" karangan Jenderal AH Nasution yang berisi tentang taktik dan strategi perang gerilya terus menjadi rujukan pengajaran militer utama di negara-negara di seluruh dunia, termasuk Amerika Serikat.

Di bidang persenjataan, Indonesia juga patut berbangga hati karena PT Pindad yang merupakan pabrik persenjataan militer milik Indonesia mulai dipercaya memasok peluru dan tank ke negara- negara berkembang, seperti Filipina, Malaysia, dan lain-lain. Militer Amerika Serikat bahkan kabarnya membeli pasokan peluru dari Pindad. Sementara helikopter tempur jenis EC 725/225 buatan PT Dirgantara Indonesia ternyata juga dipesan negara-negara Eropa, termasuk Prancis.

Dengan semua fakta di atas, memang menjadi sedikit mengherankan jika dalam satu dekade terakhir negara tetangga Malaysia begitu percaya dirinya. Termasuk saat menangkap tiga pejabat RI di wilayah Indonesia karena menangkap basah nelayan Malaysia yang mencuri ikan, belum lama ini. Padahal, sekali lagi, kekuatan militer Malaysia bahkan tak masuk hitungan. Tapi, pertanyaannya, maukah kita berangkat perang jika negara kita memintanya sekarang?

(Nasionalisme bukan barang jadi yang begitu saja bisa diminta, tapi harus dipupuk, dirawat, terus diperjuangkan).