ORANG-ORANG yang mencerdaskan anak-anak kita itu hanya menuntut Rp 50.000 sebulan, sebagai bentuk perhatian dari pemerintah daerahnya. Uang sebesar itu mungkin bagi sebagian pejabat, biasa dihabiskan dalam sehari. Baik untuk makan-makan, bensin kendaraan atau untuk keperluan lainnya.
Dari pemerintah pusat sendiri mereka hanya mendapatkan Rp 200.000 setiap bulannya. Atau uang yang mereka terima hanya berkisar antara Rp 200.000 hingga Rp 300.000 sebulan.
Dengan uang sebesar itu, mereka --yang diharapkan bisa menjadi suri teladan bagi anak-anak itu-- harus bersaing dalam pasar bebas. Mereka harus membeli beras dengan harga yang sama dengan yang berpenghasilan Rp 1 juta hingga Rp 5 juta per bulan. Mereka harus membeli bahan kebutuhan pokok dengan harga sama dengan orang yang berpenghasilan jauh lebih besar dari mereka. Mereka harus memmbayar listrik, telepon, dan kebutuhan lainnya dengan harga yang sama. Tidak ada subsidi buat mereka. Apakah negara ini benar-benar melindungi dan menghargai mereka?
Coba kalau kita ke pelosok, misalnya di sebuah sudut kampung di Kec. Gununghalu, Kab. Bandung, atau di Kertasari, Kab. Bandung Barat, tidak sedikit guru honorer yang berpenghasilan Rp 250.000 per bulan ini adalah orang-orang yang mempunyai komitmen moral yang baik. Mereka bekerja rutin datang ke sekolah untuk mencerdaskan anak-anak kita. Meski untuk menutup kebutuhan sehari-hari keluarganya, banyak di antara mereka yang harus kerja sampingan sebagai tukang ojek atau buruh pabrik. Artinya, kesempatan mereka untuk mengembangkan potensi sebagai guru yang kompeten di bidangnya jangan diharapkan bisa berkembang. Sekali lagi, apakah negara ini masih benar-benar melindungi dan menghargai mereka?
Kita mungkin masih ingat ketika Jepang porak-poranda oleh Amerika Serikat, yang pertama kali ditanyakan Kaisar adalah berapa guru yang masih tersisa. Kaisar tidak bertanya tentang jumlah tentaranya, tapi guru dianggap sangat penting untuk membangun kecerdasan bangsanya agar kembali bisa bangkit. Dan, terbukti dalam tempo singkat, Jepang bisa menyejajarkan diri dengan negara-negara maju lainnya.
Kita selalu beralasan, jumlah guru dan anggaran yang ada belum seimbang, tapi yang terjadi sebenarnya adalah ketimpangan pendapatan. Artinya, uang itu ada tapi karena terjadi inefisiensi dalam penggunaan anggaran --sementara yang korupsi bisa leluasa dengan mengembangkan korupsi berjemaahnya-- guru, yang lemah dalam posisi tawar di pemerintahan, tetap sulit beranjak dalam meningkatkan kesejahteraannya. Guru, di negara kita cukup dibujuk dengan sebuah lagu, "Pahlawan Tanpa Tanda Jasa".
Coba bayangkan dengan para anggota dewan yang baru dilantik, begitu duduk, kemudian ikut pembekalan, bisa menerima uang antara Rp 2,5 juta sampai Rp 4,5 juta hanya dalam 3 hari mengikuti pembekalan. Ketidakadilan ini tampaknya akan terus berlangsung dan guru honorer sebagaimana kaum lemah lainnya, tetap kerap hanya dijadikan jargon elite politik untuk meraih simpati masyarakat. Setelah duduk, pernahkah terbayangkan untuk membagi 50% dari pendapatannya untuk dibagikan kepada para guru honorer. Ah, sebuah hubungan kemanusiaan yang sangat harmonis seperti diajarkan Islam, terlebih di bulan Ramadan ini. **