Jumat, 18 Juni 2010

Etika Siswa di Era Teknologi Ponsel

KEMAJUAN teknologi begitu akrab dengan siswa. Siswa yang tak mengikuti perkembangan teknologi merasa tak gaul. Guru dan orang tua tentu bangga melihat ini. Salah satu produk teknologi yang akrab dengan siswa adalah handphone (HP) atau telepon seluler (ponsel).

Orang tua dan guru sadar betul pentingnya ponsel bagi anaknya. Ponsel pun sekarang dianggap kebutuhan primer, bukan kebutuhan sekunder lagi.

Diakui, ponsel punya keunggulan dibanding alat komunikasi lainnya. Ponsel lebih praktis sehingga jadi pilihan banyak orang untuk menggunakannya. Ponsel bisa dipakai untuk sarana pelayanan, bisnis, promosi, dakwah dan segudang fungsi lainnya.

Sekarang fungsi ponsel jadi beragam, tak hanya sebagai alat komunikasi. Ini tak lepas dari akibat perkembangan teknologi ponsel yang bisa berfungsi untuk SMS, MP3, video, kamera, merekam, bahkan multimedia. Ini tentu bisa menarik hati siapa pun untuk membeli dan menggunakannya.

Saat ini hampir semua siswa memiliki ponsel. Siswa akan merasa percaya diri (pede) bila membawa ponsel, apalagi yang canggih dan mahal.

Etika oleh filsuf besar asal Yunani, Aristoteles (384-322 SM), sudah dipakai untuk menunjuk filsafat moral. Secara etimologi etika berarti adat, kebiasaan. Atau bisa juga diartikan nilai dan norma yang menjadi pegangan seseorang atau kelompok orang untuk mengatur tingkah lakunya.

Berdasarkan teori belajar, hakikat belajar adalah adanya perubahan tingkah laku. Jadi, ponsel bisa menjadi media pembelajaran. Tapi perubahan perilaku seperti apa yang diakibatkan oleh ponsel? Sesuaikah dengan tujuan pendidikan?

Perubahan perilaku yang dirindukan pendidikan tentu perubahan perilaku yang baik. Kalau kita cermati, siswa yang membawa ponsel cenderung bersifat individualistis. Mereka bergaul atau bercakap-cakap bukan dengan teman di sampingnya, melainkan orang yang jauh. Ponsel juga membentuk stratifikasi sosial di kalangan siswa. Siswa yang menggunakan ponsel mahal ditafsirkan orang kaya dan sebaliknya. Ini akan melahirkan egoisme dan pamer.

Bagaimana anak yang tak membawa ponsel? Ia akan merasa minder dan terasing dari lingkungannya. Siswa yang belum punya ponsel akan berusaha mendesak orang tuanya untuk membelikannya. Ini cara mereka supaya merasa diterima dan nyaman dengan lingkungannya.

Siswa pun disibukkan dengan ponselnya. Ponsel berdering keras di tengah heningnya proses pembelajaran di kelas sudah tak aneh. Siswa sibuk berkomunikasi dengan pihak luar tanpa memedulikan guru yang tengah menjelaskan. Guru pun tak bisa tegas karena kadang guru pun bersikap demikian. Ponsel fungsinya menggesar kalkulator. Dalam belajar mata pelajaran eksakta, ponsel digunakan sebagai alat penghitungan. Ini tentu menumpulkan nalar siswa.

Bahkan ada kasus, ponsel melalui fasilitas pesan pendek (short messages service/SMS), siswa berkerja sama dalam mengerjakan soal ujian. Pernah juga ditemukan ada joki yang menjual-belikan kunci jawaban soal ujian via SMS.

Kita sering menyaksikan siswa tengah asyik mojok sambil memutar lagu. Pojok sekolah pun jadi riang dengan suara lagu dari ponsel mereka. Dan bisa saja kalau guru kurang mengawasi, ada siswa yang memutar video porno saat istirahat sekolah.

Di tengah kemajuan teknologi ponsel, kita sulit sekali menemukan siswa yang berdiskusi tentang mata pelajaran yang baru dipelajarinya. Siswa yang mendapat nilai kecil sekalipun saat ujian terkesan cuek. Tampaknya kebanggaan jadi bergeser dari prestasi pada modernisasi. Degradasi moral tampak benar-benar terjadi.

Dunia pendidikan dihadapkan pada sejumlah masalah. Salah satunya ketidakjelasan tujuan siswa berangkat ke sekolah. Siswa terjebak dengan rutinitas dan kewajiban dari orang tua untuk pergi ke sekolah. Siswa tak menyadari, untuk apa dia sekolah.

Perlukah sekolah melarang siswanya menggunakan ponsel? Tentu sekolah akan mendapat protes dan kecaman jika melakukan ini. Sekolah dianggap ketinggalan zaman. Sekolah akan dianggap tidak melek teknologi.

Sekolah, siswa, orang tua, harus bekerja sama untuk menangkal efek negatif pengaruh ponsel ini. Kita tak perlu alergi dengan kemajuan teknologi. Teknologi perlu kita terima dan nilai-nilai etika dan moral harus menyertai itu semua. Tanpa itu, tunggu kehancuran. (*)

Tidak ada komentar: