Kamis, 17 Juni 2010

Profesional Tetapi Digaji ala Kadarnya

Beda dengan guru PNS. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan pada pasal 16 ayat (a) ada 11 item macam-macam tunjangan yang melekat pada guru pegawai negeri sipil (PNS). Tunjangan itu didapatkan baik berupa biaya personalia satuan pendidikan baik formal maupun non formal diantaranya; gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan struktural bagi pejabat struktural pada satuan pendidikan, tunjangan fungsional bagi pejabat fungsional di luar guru dan dosen, tunjangan fungsional bagi guru dan dosen.

Tunjangan profesi bagi guru dan dosen, tunjangan profesi bagi guru pegawai negeri sipil daerah, tunjangan khusus bagi guru dan dosen yang ditugaskan di daerah khusus oleh Pemerintah, tunjangan khusus bagi guru pegawai negeri sipil daerah yang ditugaskan di daerah khusus oleh Pemerintah, maslahat tambahan bagi guru dan dosen dan tunjangan kehormatan bagi dosen yang memiliki jabatan profesor atau guru besar.

Sedangkan daftar gaji PNS sesuai dengan PP 8/2009 tentang Gaji PNS adalah untuk golongan I/a dengan nol masa kerja sebesar Rp 1.040.000,00 per bulan, gol. II/a Rp 1.320.300,00 per bulan, gol. III/a Rp 1.655.800,00 per bulan dan gol.IV/a 1.954.300,00 per bulan semuanya dengan nol masa kerja. Gaji pokok guru, tunjangan dan maslahat lainnya di seluruh Indonesia dipatok sama, kecuali tunjangan yang dibayarkan oleh daerah yang menyesuaikan dengan kemampuan daerah tersebut.

Bandingkan dengan guru swasta mereka digaji atas dasar pembayaran iuran siswa. Jika siswa sebuah sekolah swasta minim berakibat gaji guru diberikan sekedarnya. Sekalipun dalam PP 48/2008 tentang Pendanaan Pendidikan memang dianjurkan agar pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat (swasta) harus minimal memberikan sekurang-kurangnya mencakup gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan fungsional dan maslahat tambahan.

Tunjangan bagi guru swasta selain minim juga dipisahkan berdasarkan kategori. Guru yang berstatus guru tetap (GTY) mungkin akan mendapatkan sesuai dengan PP 48/2008, sedangkan bagi guru yang tidak status GTY mereka hanya berharap dari perhitungan jam mengajar yang setiap satuan pendidikan misalnya berbeda-beda memberikan tarif per jam mengajarnya.

Kesenjangan antara penghasilan guru PNS dengan guru swasta semakin terasa dan dilegalkan oleh pemerintah bahkan dikuatkan dalam seluruh produk undang-undang yang mengatur penghasilan guru.

Koordinator Presidium Guru Swasta Indonesia (PGSI) M Fatah Yasin kepada Komunitas mengatakan produk undang-undang yang dikeluarkan oleh pemerintah baik yang melalui Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama hingga turunannya di Pemerintah Daerah belum melindungi kepentingan guru swasta.

Kalau dilihat aturan saat ini, guru honorer misalnya—pengertian pemerintah yang dimaksud guru honorer itu adalah guru yang penghasilannya dibayarkan melalui APBN atau APBD. Kalau pengertian PGSI, tenaga honorer atau guru honorer adalah seseorang yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian atau pejabat lain yang berwenang dalam pemerintahan untuk melaksanakan tugas tertentu dan seseorang yang diangkat oleh pimpinan penyelenggara/pengelola satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat yang berbadan hukum untuk melaksanakan tugas sebagai pendidik dan tenaga kependidikan.

Dalam UU Sisdiknas pasal 40 ayat (1) dengan tegas diamanatkan pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai. Penghasilan yang teraplikasi dengan gaji pokok seharusnya menurut Fatah, seluruh guru dengan masa kerja yang sama dan kualifikasi akademik yang setara seharusnya digaji sama tanpa memandang apakah dia mengajar di sekolah swasta maupun sekolah negeri.

Seyogyanya, guru sudah harus digaji sesuai kebutuhan hidup minimum atau setara dengan upah minimum provinsi (UMP). “Undang-undang 14/2005 tentang Guru dan Dosen mengatakan dengan jelas bahwa, dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak memperoleh penghasilan diatas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial,” kata dia lagi.

Terkait akan di undangkannya RPP Tenaga Honorer, seharusnya mengakomodir guru swasta yang mengajar di sekolah swasta dan guru yang tidak mendapatkan tunjangan dari APBN/APBD baik yang mengajar pada satuan pendidikan negeri maupun satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat. Kenyataannya, RPP tidak mengakomodir guru swasta.

”Jadi RPP Tenaga Honorer yang akan diundangkan itu mendiskriminasi guru swasta dan mengkristalisasi persoalan pengertian guru. Belum lagi pengkotak-kotakan istilah guru yang membingungkan kita. Sehingga guru saat ini dalam posisi lemah,” ungkap Fatah guru yang mengajar di Kajen Kabupaten Tegal ini.

Munculnya kastanisasi bagi profesi guru berdampak buruk bagi kemajuan pendidikan Indonesia. Sebab, soal istilah status guru saja di Indonesia sangatlah beragam. Ada guru yang berstatus guru Bantu (GB), guru kontrak/tenaga kerja kontrak (TKK), guru tidak tetap (GTT), guru sukarelawan (SUKWAN), guru honorer, guru wiyata bhakti, guru honorer daerah (GHD), dan guru tetap yayasan (GTY). Sementara guru yang sudah pegawai negeri (PNS) disebut PNS, PNS DPK guru pegawai negeri yang diperbantukan di sekolah swasta dan PNS Depag yaitu guru yang masuk dalam binaan Kementerian Agama.

Istilah-istilah dalam menyebut status guru tersebut ada di lingkungan sekolah madrasah maupun sekolah umum baik yang berstatus sekolah negeri maupun swasta. Padahal dalam UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 dan UU Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005 tegas-tegas disebut istilah guru mengerucut pada penamaan PNS dan Non PNS.

Dede Permana dari Forum Tenaga Honor Guru Swasta Kota Cirebon yang membawahi sedikitnya 1.600-an guru swasta di kotanya juga mengeluhkan pendekatan status dalam pemberian reward bagi guru tidak sama. Belum lagi adanya diskriminasi kebijakan yang dilakukan pemerintah daerah dan pusat. Termasuk diskriminasi kesejahteraan yang berbeda jauh antara guru PNS dengan guru swasta. Ia mencontohkan, akibat terbitnya Permendagri Nomor 13, dana hibah yang seharusnya diterima guru non PNS yang berasal dari APBN maupun APBD dihentikan karena aturan tersebut memisahkan tanggung jawab soal pemberian tunjangan. Karena hanya guru yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian atau pejabat lain pada satuan pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat dan daerah yang berhak memperoleh tunjangan tersebut.

Lain lagi yang dialami Laode L. Amos bersama 7 guru di Pondok Pesantren Khairul Ummah Buton, Sulawesi Tenggara. Akibat yayasan tidak mendapatkan sumber penghasilan yang memadai dan tidak mendapat subsidi dari pemerintah pusat maupun daerah, mereka tidak mendapatkan gaji sepeserpun. Mereka mengajar secara sukarela. ”Padahal kami juga ikut berbakti mencerdaskan anak bangsa. Apa bedanya yang kami lakukan dengan guru PNS?,” katanya mengeluh dengan nada bertanya.

Begitu pula yang dialami oleh Sumarno sekretaris Persatuan Guru Swasta Banten (PGSB). Sudah gaji tidak seberapa, guru swasta dipaksa untuk bergabung dengan PGRI dan mengharuskan membeli baju batik PGRI. ”Tiap hari Kamis wajib memakai baju batik PGRI tanpa terkecuali,” kata Sumarno.

Senada dengan Sumarno, Marino Tampubolon pengurus PGSI yang tinggal di Jakarta Utara ini juga mengalami hal yang sama soal ikut menjadi anggota PGRI. ”Semua guru dipaksa harus masuk PGRI. Karena pemerintah hanya mengakui organisasi guru itu satu-satunya. Kita juga dipaksa membayar biaya pembuatan kartu Rp 50 ribu,” ujarnya.

Ia mengandai pendanaan pendidikan yang memprioritaskan sekolah negeri sangatlah tidak adil. Menurutnya, sekolah swasta yang rutin membayar pajak seharusnya kembali pada sekolah swasta dalam pengembangan dan pembinaan pendidikan. ”Bukan malah sebaliknya, negeri (sekolah negeri,red) sudah muntah dari subsidi, sementara swasta masih kelaparan,” ujar Marino.

Muhammad Nurdin guru swasta dari Banten juga berpandangan sama. Ia mengibaratkan diskriminasi antara guru swasta dengan PNS sudah dilembagakan dan dilegalkan oleh pemerintah. Nurdin tidak meyebutkan spesifik apa yang dimaksud dengan dilembagakan. Namun, pengalamannya selama ini sebagai guru swasta merasa termarjinalkan oleh kebijakan pemerintah.

H. Kanim Ketua PGSI Jakarta mengungkapkan kesenjangan guru di DKI Jakarta juga terjadi. Semula sejak digulirkannya BOP (Biaya Operasional Pendidikan) dari APBD DKI Jakarta. Guru swasta mendapatkan BOP sejak tahun 2007, padahal program ini sudah berjalan sejak tahun 2005.

Guru swasta dijanjikan mendapatkan Rp 1 juta per bulan. Kenyataannya, di tahun 2007 cuma cair 2 bulan, tahun 2008 memperoleh 6 bulan dan di tahun 2009 tidak cair sama sekali.

Suparman, Ketua Forum Guru Independen Indonesia (FGII) yang saat ini sudah menjadi PNS di DKI Jakarta sebelumnya juga mengalami hal yang sama. Untuk itu, ia berharap agar teman-teman guru swasta berhimpun dalam wadah yang sama dan lebih me-nasional. Sebab, selama ini perjuangan guru swasta dilakukan ditingkat lokal. Hal ini untuk mewujudkan guru yang berkualitas dan sejahtera.

Perhimpunan guru swasta harus terarah minimal menurutnya, harus memiliki 4 hal yang harus perlu dimatangkan. Diantaranya, konsolidasi organisasi, mencerdaskan anggotanya, membangun modal organisasi dan melakukan politik pendidikan.

”Seringkali organisasi guru di pandang remeh karena tidak memiliki nilai politik rendah di mata pemerintah. Termasuk konsolidasi antar anggota yang lemah akibat kesulitan pendanaan,” ungkapnya.

Tidak ada komentar: